KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. serta sholawat
dan salam kepada junjungan kita Nabi
besar Muhammad SAW. Atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Sewa-menyewa (Ijarah)” telah diselesaikan
dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat
yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan tugas Fiqh Mu’amalah. Penyelesaian tugas ini bukanlah hasil dari
penulis sendiri melainkan dukungan dan dorongan dari kawan – kawan dan pihak yang
bersangkutan yang juga ikut membantu. Oleh karena itu, patutlah penulis
mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar – besarnya.
Kami menyadari bahwa dalam penyelesaian tugas
ini masih belum sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan tugas
kami selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A.
Latar Belakang .......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A.
Pengertian Sewa-menyewa
(Ijarah) ........................................................... 3
B.
Dasar Hukum Sewa-menyewa
(Ijarah) ..................................................... 3
C.
Rukun Sewa-menyewa
(Ijarah) ................................................................. 4
D.
Syarat Sewa-menyewa
(Ijarah) ................................................................. 5
E.
Jenis Transaksi Sewa-menyewa
(Ijarah) ................................................... 7
F.
Sifat dan Hukum Sewa-menyewa
(Ijarah) ................................................ 7
G.
Bentuk Pelanggaran dalam
Sewa-menyewa (Ijarah) ................................. 8
H.
Berakhirnya Sewa-menyewa
(Ijarah) ....................................................... 9
BAB III
PENUTUP ........................................................................................... 11
A.
Kesimpulan ............................................................................................... 11
B.
Saran ......................................................................................................... 11
DAFTAR
PUSTAKA ........................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Muamalah merupakan
bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain.
Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah sewa-menyewa
dan upah. Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama
klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern. Dalam
hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan
tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.
Sebelum kita bahas tentang sewa-menyewa yang
merupakan bagian dari muamalah, sebaiknya kita mengetahui apa arti muamalah itu
sendiri. Secara bahasa kata Muamalah adalah masdar dari kata asmala-yu’amilu
mu’amalatan yang berarti saling bertindak, saling berbuat, dan saling beramal.
Dalam Fiqih muamalah memiliki dua macam pengertian yaitu pengertian muamalah
secara sempit dan pengertian muamalah secara luas. Secara sempit
muamalah adalah : Aturan allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara
yang paling baik sedangkan secara sempit muamalah adalah : tukar menukar barang
atau sesuatu yang sangat bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Kata ijarah dari bahasa
Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna
operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk
tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika
kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita
bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah ini. Yangmana
diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu
pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh
seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam.
Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik
dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus
mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah,
dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena
begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam
pembahasan makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan ijarah/ sewa-menyewa?
2.
Apa tujuan ijarah/ sewa-menyewa?
3.
Apa manfaat ijarah bagi penyewa dan yang menyewakan?
4.
Bagaimana pandangan para ulama tentang hukum ijarah sendiri?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud ijarah/
sewa-menyewa
2.
Untuk
mengetahui tujuan ijarah
3.
Untuk
mengetahui manfaat ijarah bagi penyewa dan yang menyewakan
4.
Untuk
mengetahui pandangan para ulama tentang hukum ijarah.
SEWA MENYEWA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sewa-Menyewa ( Ijarah)
Menurut
etimologi, ijarah adalah بيع المنفعه (menjual manfaat).
Demikian pula artinya menurut terminology syara’. Untuk lebih jelasnya, di
bawah akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama
fiqh:
a. Ulama Hanafiyah:
عقد عل المنا فع بعو ض
Artinya: Akad atas suatu
kemanfaatan dengan pengganti
b. Ulama Asy-Syafi’iyah:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang
mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan
dengan pengganti tertentu”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang
mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.
Berdasarkan definisi-definisi diatas,
ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan menjadi
sewa-menyewa dan upah mengupah. Sewa-menyewa adalah المنفعة بيع (menjual manfaat) dan upah mengupah adalah بيع القو ة (menjual tenaga atau kekuatan).
Sewa digunakan untuk benda, seperti
“seseorang menyewa kamar untuk tempat tinggal.” Sedangkan upah digunakan
untuk tenaga, seperti “para karyawan
bekerja ditoko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa arab upah dan sewa
disebut ijarah.
Dengan demikian pengertian ijarah dapat di
simpulkan yaitu suatu transksi baik berupa barang maupun jasa dengan menjual
manfaat dan serta ada pengganti baik di awal transaksi atau di masa habis
berlakunya ijarah atau sewa itu sendiri.
B. Dasar Hukum Sewa-Menyewa ( Ijarah)
a. Al-Qur’an
فَاِ نْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاءْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ
(الطلاق: ١)
Artinya
“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka
upahnya.” (QS. Thalaq: 6)
قَا لَتْ اِحْدَا هُمَا يَا اَبَتِ اسْتَاءْجِرْهُ اِنَّ خَىْرَمَنِ
اسْتَاءْجَرْتَ الْقَوِيُّ الاْءَمِىْنُ. قَا لَ اِنِّىْ اُرِىْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ
اِحْدَى ابْتَيًّ هَا تَيْنِ عَلَى اَنْ تَاءْجُرَنِى ثَمَا نِىَ حِجَجٍ فَاِ نْ
اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ...
القصص : ٢٦–٢٧
Artinya
“Salah satu
dari kedua orang itu berkata, “Ya ayahku, ambilah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita),karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Berkatalah dia
(Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anak ku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku delapan
tahun.Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan)
dari kamu.” (QS. Al-Qashash: 26-27)
b. As-Sunah
اُعْطُوا لاْءَجِيْرَ اَحْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ
عَرَقُهُ.
{رواه ابن ما جه عن ابن عمر}
Artinya
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari
Ibn Umar)
مَنِ اسْتَاءْجَرَ اَجِيْرًا فَلْيَعْمَلْ اَجْرَهُ.
{رواه عبدالرزاق عن ابي هريره}
Artinya
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.”
(HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c. Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia.
C. Rukun Sewa-Menyewa ( Ijarah)
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul antara lain
dengan meggunakan kaimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’ dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah
ada 4 yaitu:
1. ‘Aqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau
memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa atau menerima upah)
2. Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir
3. Ujrah (upah)
4. Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)
D. Syarat Sewa-Menyewa ( Ijarah)
1.
Syarat Terjadinya Akad
Syarat in‘inqad (terjadinya akad) berkaitan
dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.Sebagaimana telah dijelaskan dalam
jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad)
disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7tahun), serta tidak
disyaratkan harus baligh.Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad
ijarah anak mumayyiz, di anggap sah bila diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz
adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat
penyerahan.Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergatung
atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan
orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak
mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.
2.
Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus
dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).Dengan
demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan
adanya ijarah.
3.
Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan
‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah
(upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:
·
Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad.
·
Ma’qud ‘alaih bermanfaat dengan jelas.
Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih atau barang menghilangkan
pertentangan di antara ‘aqid. Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih
(barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau
menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
·
Penjelasan manfaat
·
Penjelasan waktu
·
Sewa bulanan
·
Penjelasan jenis pekerjaan
·
Penjelasan waktu kerja
·
Ma’qud ‘alaih (barang) harus dapat memenuhi secara
syara’.
·
Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
·
Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan
kepadanya
·
Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
·
Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
4. Syarat Barang Sewaan (ma’qud ‘alaih)
Di antara barang sewaan adalah dapat
dipegang atau dikuasai.Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang
melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana
dalam hal jual-beli.
1) Syarat Ujrah (Upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
·
Berupa harta tetap yang diketahui
·
Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah,
seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
2) Syarat yang Kembali pada Rasul Akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak
diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan
rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama
sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.
3) Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah atas dua hal berikut:
§
Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
§
Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.
E. Jenis Transaksi Ijarah
Dilihat dari segi obyeknya ijarah dapat dibagi menjadi dua macam: yaitu
ijarah yang bersifat manfaat dan bersifat pekerjaan.
Pertama, ijarah yang
bersifat manfaat.Umpamanya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian
(pengantin) dan perhiasan.
Kedua, ijarah yang
bersifat pekerjaan adalah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan
pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit,
tukang sepatu, dan lain-lain.Yaitu ijarah yang bersifat kelompok atau serikat.
F. Sifat Dan Hukum Sewa-Menyewa ( Ijarah)
1.
Sifat Sewa-Menyewa ( Ijarah)
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad
lazim yang didasarkan paad firman Allah SWT.:او فوابالعقودَ, yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut
dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuhan akad.
Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa
ijarah ialah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya
sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun
berdasarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur’an diatas.
Berdasarkan dua pandangan diatas, menurut
ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan
tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.Adapun menurut jumhur ulama, ijarah
tidak batal, tetapi berpindah kepada ahi warisnya.
2.
Hukum Sewa-Menyewa ( Ijarah)
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya
kemanfaatan bagi penyewa dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang
menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk jua-beli, pertkaran, hanya saja
dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama
Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan
atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Bila kerusakan tersebut terjadi pada
syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus
diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai
dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
G. Bentuk Pelanggaran Dalam Sewa-Menyewa ( Ijarah)
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila
barang yang ditangannya rusak.
Menurut ulama syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimilki oleh
penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada
ditangannya, ia tidak mendapatkan upah. Pendapat tersebut senada dengan ulama
Hanabilah.
Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah.
Hanya saja mereka mengurai lebih detail lagi, yaitu:
a.
Jika benda ada di tangan ajir
-
Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapat upah
sesuai bekas pekerjaan tersebut.
-
Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak
mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.
b.
Jika benda berada ditangan penyewa, pekerja berhak
mendapat upah selesai kerja.
·
Pengekang barang
Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekangbarang yang telah ia
kerjakan. Sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan,
barang tersebut rusak, ia harus bertanggung jawab.
H. Berakhirnya Sewa-Menyewa ( Ijarah)
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah
bersifat mengkat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah berpendirian
bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara
sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad seperti, salah
satu pihak wafat, atau kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum.
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya
salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk
meneruskannya.Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi
diwariskan.
Selain itu, ijarah juga dipandang selesai jika ada pembatalan akad,
terjadinya kerusakan pada barang yang disewa dan habis waktu, kecuai kalau ada
uzur. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat kecuali
ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.Akibat perbedaan pendapat
ini dapat diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia maka akad
al-ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.Akan tetapi, jumhur
ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta
(al-maal).Oleh karena itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak
membatalakan akad al-ijarah.
Menurut al-Kasani dalam kitab al-Badaa’iu ash-Shanaa’I, menyatakan
bahwa akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
-
Pertama, objek
al-ijarah hilang atau musnah seperti, rumah yang disewakan terbakar atau
kendaraan yang disewa hilang.
-
Kedua, tenggang
waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.Apabila barang yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila
yang disewakan itu jasa seseorang maka orang tersebut berhak menerima upahnya.
-
Ketiga, wafatnya
salah seorang yang berakad.
-
Keempat, apabila ada
uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita Negara karena
terkait adanya utang, maka akad al-ijarahnya batal.
Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq,
al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
-
Pertama, terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di
tangan penyewa.
-
Kedua, rusaknya barang yang disewakan, seperti
ambruknya rumah dan runtuhnya bangunan gedung.
-
Ketiga, rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan
baju yang diupahkan untuk dijahit.
-
Keempat, telah terpenuhimya manfaat yang diakadkan
sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
-
Kelima, menurut Hanafi salah satu pihak dari yang
berakad boleh membatalkan al-ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa,
seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan
modal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijarah (persewaan) yaitu suatu akad yang berkaitan dengan pemanfaatan
barang yang dikehendaki yang telah diketahui penggunaannya. Barang tersebut
dapat diserahkan kepada penyewa dengan ongkos yang jelas atau pasti. Akada
persewaan ini adalah akad yng tetap, artinya kedua orang yang melakukan akad
sewa-menyewa ini tidak boleh menghentikan akad sekehendaknya, kecuali setelah
selesai atau habis waktunya menurut perjanjian yang telah ditetapkan. Dasar
akad ijarah ini adalah Al-Qu’an, hadits, dan ijma’.
Rukun ijarah ada 4 yaitu: ‘Aqid
(orang yang berakad), shighat akad,
Ujhrah dan Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu
yang dikerjakan). Syarat ijarah terdiri dari 7 macam yaitu: syarat terjadinya
akad, syarat pelaksanaan (an-nafadz), syarat sah ijarah, syarat barang sewaan
(ma’qud ‘alaih), syarat ujrah (upah), syarat yang kembali pada rasul akad, dan
syarat kelaziman.
B.
Saran
Dalam proses melakukan sebuah kinerja harus
dilakukan dengan penuh kesabaran, ketelatenan, dan keterampilan. Dalam
melakukan sebuah kinerja bersama kelompok harus dilakukan penuh dengan
solidaritas serta kerja sama dan tidak mementingkan diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad
Hasbi.1904. Pengantar Fiqh Mu’amalah.
Jakarta: PT. Pustaka Rizqi Putra.
Harisudin, Noor. 2014. Fiqh Muamalah 1. Surabaya:
CV. Putra Salsabila Pratama.
Syafe’I, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Ahmad,
Idris, 1986. Fiqh al-Syafi’iyah,Jakarta: Karya Indah
Al-Jaziri,
Abd. Al-Rahman, 1969. Fiqh ‘Ala madzahibil Arba’ah Juz III, Mesir:
Maktabah Tijariyah al-Kubro
Asy-Sarbini,
Muhammad, Mughni al-Muhtaj Juz II
Rasjid,
Sulaiman, 1994. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo
Sabiq,
Sayyid, 2004. Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena
Pundi Aksara
Syafi’I,
Rahmat, 2004. Fiqh Muamalah,
Bandung: CV Pustaka Setia
Moh.
Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Semarang: Asy-Syifa, 1993
Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Ibnu
Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa, 1990
Rachmat
Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004