MANUSIA DAN TUGASNYA SEBAGAI HAMBA
DAN KHALIFAH DI BUMI
DAN KHALIFAH DI BUMI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ALLAH SWT menciptakan
alam semesta dan menentukan fungsi-fungsi dari setiap elemen alam ini.
Mata hari punya fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah
seterusnya; bintang-bintang, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya
hingga makhluk yang paling kecil masing-masing memiliki fungsi dalam kehidupan.
Bagi seorang atheis,
manusia tak lebih dari fenomena alam seperti makhluk yang lain. Oleh karena
itu, manusia menurut mereka hadir di muka bumi secara alamiah dan akan hilang
secara alamiah. Apa yang dialami manusia, seperti peperangan dan bencana alam
yang menyebabkan banyak orang mati, adalah tak lebih sebagai peristiwa alam
yang tidak perlu diambil pelajaran atau dihubungkan dengan kejahatan dan dosa,
karena dibalik kehidupan ini tidak ada apa-apa, tidak ada Tuhan yang mengatur,
tidak ada sorga atau neraka, seluruh kehidupan adalah peristiwa alam. Bagi
orang atheis fungsi manusia tak berbeda dengan fungsi hewan atau
tumbuh-tumbuhan, yaitu sebagai bagian dari alam.
Bagi orang yang
menganut faham sekuler, manusia adalah pemilik alam yang boleh mengunakannya
sesuai dengan keperluan. Manusia berhak mengatur tata kehidupan di dunia ini
sesuai dengan apa yang dipandang perlu, dipandang baik dan masuk akal karena
manusia memiliki akal yang bisa mengatur diri sendiri dan memutuskan apa yang
dipandang perlu. Mungkin dunia dan manusia diciptakan oleh Tuhan, tetapi
kehidupan dunia adalah urusan manusia, yang tidak perlu dicampuri oleh agama.
Agama adalah urusan individu setiap orang yang tidak perlu dicampuri oleh orang
lain apa lagi oleh negara.
Agama Islam mengajarkan
bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai hamba Allah (`abdullah) dan
sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia
adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya
menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai
khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka
manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas
yang sangat besar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Manusia Sebagai Khalifatullah
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di
bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah.
Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan
dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai
khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya,
yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di
akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah
manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa
mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat
yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain
seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari
tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi,
maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah
digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu
manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun
“jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan
penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari
bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai
khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan
jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan
penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat. Jabatan manusia sebagai khalifah
adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh
atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan
amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai
khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua
makhluknya.
Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut
kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah.
Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
Yushabbihu lillahi ma fissamawati wama
fil ardh.
Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah
kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam
rahim ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih.
Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada
janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu.
Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam
dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin
tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat
rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau
mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya,
yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak
bertasbih kepada-Nya Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan
terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya.
Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada
manusia yang melakukan penyimpangan. Makna sederhana dari khalifatullah adalah
“pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan
untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam
firman-Nya: Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li ya’budu.
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin
kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah
kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah
primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah
mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah
tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan
siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung
diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa,
zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita
yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak,
makan, dan menuntut ilmu.
B. Manusia Dalam Prespektif Kekhalifahan
1.
Eksistensi manusia
Istilah eksistensi mempunyai makna yang terkaya dan terdalam, ditemukan
dalam bahasa arab. Eksistensi berasala dari akar kata kerja wajada, bentuk kata
ini berarti “menemukan” dan turunnya adalah wujud (ada), wijdan (sadar), wajd
(nirwana) dan wujd. Dalam bentuk wajd, wujd, dan wijdan berarti “mempunyai
milik”, dan mempunyai milik pada akhirnya mengantarkan pada wujud independen,
yakni wujud yang tidak tergantung pada yang lain. Mana lain dari istilah wujud
(eksisensi) dan suatu keberadaan yang dirasakan, ditemukan dan ditentukan oleh
panca indera. Karena itu dapat dikatakan bahwa ada sesuatu yang dapat dirasakan
panca indera. Di sisi lain ada juga keberadaan yang tidak dapat diketahui
dengan perasaan tapi dengan nalar. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
eksisensi manusia berarti keberadaan manusia, artinya segala sesuatu yang ada
atau yang muncul yang dapat diemukan atau dirasakan pada diri manusia baik
secara fisis maupun metafisis, empiris maupun meta empiris.
Ada pengertian eksistensi manusia oleh Al-Ghazalli didefinisikan sebagai
komposisi yang meperlihatkan keberadaan manusia dalam suatu totalitas. Artinya
manusia sebagai kenyataan faktual terdiri atas bagian-bagian yang membentuk
suatu komposisi yang menunjukkan keberadaannya. Eksistensi manusia merupakan
perpaduan antara beberapa unsur yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Menurut Ibnu
Qoyyim, hakikat diri manusia itu merupakan paduan antara beberpa unsur yang
saling berkaitan dan tidak mungkin dipisah-pisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Beberapa unsur yang dimaksud itu adalah ruh, akal dan badan. Hal yang
sama juga dikemukakan oleh M. Qutb bahwa dalam perspektif islam eksistensi
manusia yang merupakan paduan antara ketiga unsur tersebut merupakan satu
kesatuan yang terpadu dan saling berkaitan, badan yang bersifat materi tidak
bisa dipisahkan dengan akal dan ruh yang bersifat imateri. Masing-masing dari
ketiga unsur tersebu memiliki daya aau potensi yang saling mendukung dan
melengkapi dalam perjalanan hidup manusia.
2.
Eksistensi Manusia dalam Perspektif Kekhalifahan
Manusia mempunyai keistimewaan dibanding dengan makhluk Tuhan yang
lainnya dimuka bumi ini. Keistimewaan ini bisa dilihat dari sisi penciptaan
fisik maupun personalitas karakternya. Karena keistimewaannya itu, manusia
memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda dengan makhluk yang lain.[14]hal ini
dapat kita lihat dalam Surat Al-Baqarah ayat 30-33 yang memaparkan proses
kejadian manusia dan pengangkatannya sebagai khalifah. Proses kejadian inilah
yang dapat memberikan pengertian kedudukan manusia sebagai khallifatullah dalam
Alam Semesta. Sebagaimana diungkapkan beberapa penafsir berikut:
a.
Musthafa Al-Maraghi
Menurut Musthfa Al-Maraghi Q.S. Al-Baqarah ayat 30-33
menceritakan tentang kisah kejadian umat manusia. Menurutnya dalam kisah
penciptaan Adam yang terdapat dalam ayat tersebut mengandung hikmah dan rahasia
yang oleh Allah diungkap dalam bentuk dialok antara Allah dengan malaikat. Ayat
ini termasuk ayat Mutasyabihat yang tidak cukup dipahami dari segi dhahirnya
ayat saja. Sebab jika demikian berarti Allah mengadakan musyawarah dengan
hambanya dalam melakukan penciptaan. Sementara hal ini adalah mustahil bagi
Allah. Karena ayat ini kemudian diartikan dengan pemberitaan Allah pada para
malaikat tentang penciptaan Khalifah di Bumi yang kemudian para Malaikat
mengadakan sanggahan. Berdasarkan tersebut, maka ayat diatas merupakan tamsil
atau perumpamaan dari Allah agar mudah dipahami oleh manusia, khususnya
mengenai proses kejadian Adam dan keistimewaannya.
C. Tugas dan Peranan Manusia Dimuka Bumi
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua
peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat.
Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya
perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
1.
Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia
harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat
manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil
dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi
selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
2.
Memelihara Bumi
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak
manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan
jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena
sumber daya manusia yang rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena
itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia
mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa
(pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan
kehidupan di bumi sesuai dengan petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah
agama (Islam).
Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW untuk memelihara bumi
dari kerusakan?, karena sesungguhnya manusia lebih banyak yang membangkang
dibanding yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia akan cenderung untuk
berbuat kerusakan, hal ini sudah terjadi pada masa nabi – nabi sebelum nabi
Muhammad SAW dimana umat para nabi tersebut lebih senang berbuat kerusakan dari
pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum bani Israil, seperti yang Allah
sebutkan dalam firmannya dalam surat Al Isra ayat 4 yangArtinya :
Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu:
“Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti
kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar“. (QS Al Isra : 4)
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan
menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan
pengrusakan terhadap Alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti firmannya
dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi: Teks lihat “google Al-Qur’an
onlines” Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS
AL Qashash : 7)
Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda, apalagi manusia
memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, salah
satunya manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk penciptaan, namun
kemuliaan manusia bukan terletak pada penciptaannya yang baik, tetapi
tergantung pada; apakah dia bisa menjalankan tugas dan peran yang telah
digariskan Allah atau tidak, bila tidak, maka ia akan dimasukkan ke dalam
neraka dengan segala kesengsaraannya.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya." (95: 4 -- 6). Paling kurang ada tiga tugas dan peran yang
harus dimainkan oleh manusia dan sebagai seorang muslim, kita bukan hanya harus
mengetahuinya, tetapi menjalankannya dalam kehidupan ini agar kehidupan umat
manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan.
Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok, bahkan satu-satunya
tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yang dilakukan oleh manusia dan
sebagai apa pun dia, seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah
SWT, sebagaimana firman-Nya yang artinya, "Dan Aku tidak menciptakan
manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku." (51: 56).
Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada
Allah SWT, paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi. Pertama,
lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Keikhlasan
merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah SWT dan ini
akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu amal, karena
meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak merasakannya
sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya,
tanpa keikhlasan, amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi
amal yang jelas-jelas berat untuk dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang
terasa sangat berat untuk mengamalkannya.
Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan
segala cara, sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dan dicontohkan
oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai
dengan ketentuan Allah SWT, maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam
kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang
menyenangkan.
Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah
SWT dan ini akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya.
Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan
menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya, hal
ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki
kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah SWT.
Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah SWT harus
ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, manusia
diperankan oleh Allah SWT sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini untuk
menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah SWT berfirman yang artinya,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
(2: 30).
Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, manusia harus menegakkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan,
ini merupakan perkara yang sangat mendasar untuk bisa diterapkan. Tanpa
kebenaran dan keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan, tidak mungkin tatanan
kehidupan umat manusia bisa diwujudkan, karenanya ini menjadi persyaratan utama
bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya. Allah SWT
berfirman yang artinya, "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan."
(Shad: 26).
Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang
menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapa
pun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya,
karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah SWT
kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya,
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat." (4: 58).
D. Makna Dan Peran Kekhalifahan Manusia Di
Bumi
Manusia dipilih sebagai khalifatullah, sebagaimana diuraikan diatas,
karena kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada manusia berupa ilmu
pengetahuan, yang tidak diberikan kepada makhluk Allah yang lain termasuk
malaikat. Ayat-ayat diatas yang menyampaikan tentang pengajaran Allah kepada
manusia memberikan pengertian bahwa untuk dapat menjalankan fungsi dan peran
kekhalifahan diperlukan modal atau syarat yaitu ilmu. Hal ini senada dengan
pendapat Quraish Shihab bahwa pengetahuan atau potensi yang berupa kemampuan
menyebutkan nama-nama itu merupakan sayrat sekaligus modal bagi Adam (Manusia)
untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi
berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal, meskipun ia tekun
ruku’, sujud dan beribadah kepada Allah sebagaimana yang dilakukan oleh
malaikat. Meski malaikat merupakan makhluk yang paling taat, tapi tetapp
dinilai sebagai makhluk yang tidak memliki kemampuan untuk menjadi khalifah,
karena ia tidak memiliki ilmu atau pengetahuan tentang hal itu.
Dalam beberapa ayat juga disebutkan bahwa manusia memiliki kehidupan
ideal dan dari kehidupan ideal itu manusia didorong kepada kehidupan riil agar
ia dapat teruji sebagai makhluk fungsional (Q.S. Al-Mulk/67:2). Maksudnya, hidup
atau kehidupan riil adalah hidup di bumi sekaligus mati di bumi. Dalam kaitan
ini menurut konsepsi Al-Qur’an manusia juga sering disebut sebagai khalifah
dalam pengertian kuasa (mandataris, bukan penguasa). Dalam status itulah
manusia terkait dengan berbagai hak, kewajiban, serta tanggungjawab, yang
semuanya merupakan amanah baginya.
Manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free will), suatu
kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah lakunya sendiri.
Manusia dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu membuat pilihan antara
yang benar dan yang salah.
Berbeda dengan M. Quraish Shihab ysng mengharuskan memiliki karakter
sebagai manusia secara pribadi maupun kelompok, mampu menjalankan fungsinya
sebagai hamba Allah, guna membangun dunia sesuai konsep yang dieepkan Allah.
Sehinga khalifah harus memiliki empat sisi karakter yang saling terkait.
Keempat sisi tersebut adalah:
a.
Memenuhi tugas yang diberikan Allah.
b.
Menerima ugas tersebut dan melaksakannya dalam
kehidupan perorangan maupun kelompok.
c.
Memelihara serta mengelola lingkungan hidup unuk
kemanfaatan bersama.
d.
Menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman
pelaksanaannya.
M. Kuraish shihab memetakan karakterisik khalifatullah dengan
menganalisis tafsir milik Al-Tabrasi dikemukakan didalamnya bahwa kata imam
mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya kata imam digunakan untuk
keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti depan, yang
berbeda dengan khalifah yang terambil dari kata “belakang”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Allah berfirman kepada para malaikat ketika akan menciptakan Adam,
''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi''.
(Al-Baqarah:30). Banyak kaum muslimin yang keliru dalam memahami ayat ini,
yakni sebagai wakil/pengganti Allah dalam mengurus bumi. Makna khalifah yang
benar adalah kaum yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan
generasi demi generasi, demikian penjelasan dalam ringkasan Tafsir Ibnu Katsier
''Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ''Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'' Mereka berkata:
''Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?''. Tuhan berfirman:
''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui''(Al-Baqarah:30)
Allah Ta'ala memberitahukan ihwal pemberian karunia kepada Bani Adam dan
penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di al-Mala'ul Ala,
sebelum mereka diadakan. Maka Allah berfirman, ''Dan ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat''. Maksudnya, Hai Muhammad, ceritakanlah hal itu
kepada kaummu'', ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi'', yakni
suatu kaum yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan
generasi demi generasi, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, ''Dialah yang
menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi'' (Fathir: 39). Itulah
penafsiran khalifah yang benar, bukan pendapat orang yang mengatakan bahwa Adam
merupakan khalifah Allah di bumi dengan berdalihkan firman Allah,
''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.''
DAFTAR
PUSTAKA
·
Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Gharîb
al-Qur’ân, (Mesir: Al-Halabi, 1961),
·
Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir
al-Kabîr, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1985), Jilid I,
·
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989),
·
Ibn Manzur, Lisân al-’Arab, (Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1969), Juz X
·
Muhammad Baqir al-Shadr dalam al-Sunan
al-Tarîkhiyyat fi al-Qur’ânseperti dikutip M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an.,
·
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr
al-Manâr, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, tth.), Jilid 1,
·
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Qur’an,(Yogyakarta: LSIF, 1992),
·
Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat
Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984),
·
Tobroni dan Samsul Arifin, Islam Pluralisme
Budaya dan Politik,(Yogyakarta: SI Press, 1994),
No comments:
Post a Comment