Iman Dalam Menghadapi Tamu, Tetangga, dan Bertutur Kata
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Rasulullah SAW diutus
oleh Allah SWT sebagai syahidan, mubasysyiran, dan nadziran bagi segenap manusia.
Ajaran Islam ad-Din al-Haq yang dibawanya ke semua dasarnya adalah wahyu Allah
SWT dalam Al-Qur’an . Sebagai seorang uswat al-Hasanah beliau SAW adalah
penyampai, penafsir, dan penjelas firman-firman Allah dalam Al-Qur’an lewat qaul
beliau, fi’liyah beliau, dan taqrir beliau SAW.
Islam adalah
Rahmat li al-‘Alamin, di dalam ajaran-ajarannya terkandung nilai-nilai cinta kasih
yang telah nyata dicontohkan oleh baginda Muhammad SAW lewat akhlak mulia
beliau. Berikut ini adalah sedikit pembahasan berkaitan dengan realisasi
iman dalam kehidupan sosial berdasarkan uswah Rasulullah SAW dalam sunah beliau
SAW.
B.
Rumusan
Masalah
1. Mengapa
Cinta sesama muslim adalah sebagian dari kesempurnaan Iman?
2. Bagaimana
Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu, Tetangga, dan Bertutur Kata?
C.
Tujuan
Dari latar
belakang dan rumusan masalah di atas diharapakan dengan penulisan dapat di
deskripsikan beberapa poin mengenai ;
1. Mengapa
Cinta sesama muslim adalah sebagian dari kesempurnaan Iman?
2. Bagaimana
Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu, Tetangga, dan Bertutur Kata?
Penulisan ini bertujuan juga sebagai pemenuhan tugas dari
mata kuliah Ilmu Hadits dan sebagai pemenuhan satuan alokasi pengajaran (SAP)
di STAI Al- Hilal Sigli.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Cinta
Sesama Muslim adalah Sebagian dari Kesempurnaan Iman
Cinta adalah sesuatu
yang niscaya ada dalam peri kehidupan makhluk berakal seperti manusia baik
berbangsa, bernegara, maupun dalam kehidupan beragama. Rasulullah SAW sebagai
suri tauladan agung bagi manusia telah menjelaskan tentang betapa pentingnya
cinta dan kasih sayang terhadap sesama insan dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ
أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه ِ (رواه
البخاري ومسلم وأحمد والنسائى)
Artinya: “Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia
berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari Qatadah
dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Tidaklah termasuk
beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.” (H.R.
Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan
iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya
sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika
melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang
jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri
membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan
kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mu’min yang
tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama
sekali. Pernyataan ُأَحَدُكُمْ يُؤْمِنَ لا pada hadis
di atas mengandung makna “tidak sempurna keimanan seseorang” jika
tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf
nafi لا pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan buka
ketidakberimanan.
Prinsip tersebut mengantar kita untuk ikut merasakan apa
yang dirasakan oleh saudara sesama muslim yang dalam hadis lain diibaratkan
sebagai satu bangunan.
B. Hadits Memuliakan Tamu, Tetangga, dan
Cara Bertutur Kata
Seperti telah disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Talib K.w. : “Iman itu ucapan
dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan
anggota”. Konsekuensi bagi orang yang mengaku dirinya telah beriman Kepada
Allah SWT, adalah keharusan untuk membuktikan keimanannya kepada Allah
SWT. Rasulullah menyinggung hal ini dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ
أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ
يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
(رواه البخارى)
Artinya : Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan
kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin,
dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah
bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Hadis di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri
dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt.
dan hari akhirat. Ciri – cirri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di
atas, adakalanya terkait dengan hak-hak Allah swt., yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban
dan meninggalkan larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan
adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga
dan memuliakan tamu.
1.
Memuliakan
Tamu
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki
pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja
dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari
kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban
memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari
tersebut termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ
أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ
عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ
يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ
ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْه (متفق عـليه)
Artinya : “Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada
kami, Laits telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abi
Syuraih al-’Adawiy, berkata, Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, ia harus menghormati tamunya dalam
batas kewajibannya. Sahabat bertanya, “yang manakah yang masuk batas kewajiban
itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas kewajiban memuliakan tamu itu tiga hari
tiga malam, sedangkan selebihnya adalah shadaqah.” (Mutafaq Alaih).
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas
dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin
keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam
merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
2.
Memuliakan
Tetangga
Dalam hadis
lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi SAW. menggambarkan pentingnya
memuliakan tetangga sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي
مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدٍ
عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ
بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُه
Artinya : Isma’il bin Abi Uways telah menceritakan
kepada kami, ia berkata bahwa Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin
Sa’id, ia berkata Abu Bakr bin Muhammad telah mengabarkan kepadaku dari ‘Amrah,
dari ‘A’isyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:“Malaikat Jibril senantiasa
berwasiat kepadaku (untuk memuliakan) tetangga sehingga aku menyangka bahwa
Jibril akan memberi keada tetangga hak waris”.(H.R.Bukhori)
3.
Berbicara
Baik atau Diam
Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal
baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang
banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak
pantas dibicarakan. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda:
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم ( اَلصَّمْتُ حِكْمَةٌ وَقَلِيلٌ فَاعِلُهُ )
أَخْرَجَهُ اَلْبَيْهَقِيُّ فِي اَلشُّعَبِ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ وَصَحَّحَ
أَنَّهُ مَوْقُوفٌ مِنْ قَوْلِ لُقْمَانَ اَلْحَكِيمِ
Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam bersabda: Diam itu bijaksana namun sedikit orang yang
melakukannya. Riwayat Baihaqi dalam kitab Syu’ab dengan sanad lemah dan ia
menilainya mauquf pada ucapan Luqman Hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai sosok
tauladan umatnya, Rasulullah SAW membuktikan kesempurnaan keimanannya dengan
selalu berbuat sesuai dengan apa yang Allah SWT wahyukan pada beliau
SAW. Maka tirulah beliau dengan menjalankan sunnahnya, agar sempurna
keimanan kita. Dalam sebuah hadist Rasulullah berdo’a : “Ya Allah sebagaimana
Engkau telah memperindah kejadianku maka perindahlah perangaiku.”
Cinta
Sesama Muslim adalah Sebagian dari Kesempurnaan Iman
Realisasi
Iman Dalam Menghadapi Tamu, Tetangga, dan Bertutur Kata
a) Memuliakan
Tamu
b) Memuliakan
Tetangga
c) Berbicara
Baik atau Diam
B.
Saran
Diharapkan bagi
orang islam Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu, Tetangga, dan Bertutur Kata,
banyak keutamaan ataupun hikmahnya terutama sebagai salah satu syarat
kesempurnaan keimanan seorang muslim. Apabila ada kekurangan dan kesalahan
dalam penbuatan makalah ini kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Kiranya cukup sekian apa yang dapat kami suguhkan dan
semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih Wassalam .
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i,
Rahmat. 2003. Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan hukum). Bandung : CV.
PUSTAKA SETIA.
Al
Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Al Asqalani. 2004. Fathul Baari Syarah Shahih
Al Bukhari. Jakarta : PUSTAKA AZZAM
No comments:
Post a Comment