BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Dengan
melihat apa-apa yang telah terjadi didalam kehidupan masyarakat, baik
langsung ataupun tak langsung. Tentunya masih banyak terdapat persoalan-persoalan
yang menjadi pertanyaan didalam kehidupan bermasyarakat. Persoalan itulah yang
menjadi inspirasi penulis untuk membuat sebuah makalah yang berjudul rukun dan
syarat pernikahan.
Adapun pernikahan itu sendiri adalah salah satu asas
pokok yang paling utama dalam pergaulan atau menjadi masyarakat yang sempurna
pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan
menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu
akan menjadi jalan untuk mencapai pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Namun, untuk menuju suatu jenjang pernikahan
tentunya memilki banyak kendala atau hal-hal yang perlu diperhatikan serta harus
dilaksanakan seperti memenuhi criteria dalam menuju sebuah pernikahan. Salah
satunya, harus melaksanakan rukun dan syarat pernikahan yang telah ditentukan.
Adapun rukun dan syarat pernikahan itu, nanti akan
dibahas oleh penulis dalam bab pembahasan. Demikianlah alasan penulis untuk
mengangkat rukun dan syarat pernikahan sebagai pokok permasalahan dalam makalah
ini.
1.2. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan tugas ini, yaitu : Untuk memenuhi kewajiban penulis
terhadap dosen yang bersangkutan, dan untuk menambah wawasan penulis mengenai
munakahat
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Munakahat ( Pernikahan )
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti
bertemu, berkumpul. Menurut istilah
nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang
dilakukan menurut hukum syariat
Islam. Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan
untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia
sebagai makhluk Allah SWT.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani
rokhaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang
dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat
mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara
kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan
mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka
hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori
Muslim)
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang
harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya
tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu
harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan
tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan
namun ia bukan bagian dari amalan tersebut
2.2.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah
sebagai berikut:
a. Adanya
calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk
menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan
misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh
si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita
sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki
adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
b. Adanya
ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan
Fulanah”).
c. Adanya
qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan
menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima
pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah
dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“
Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1
(Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab:
37)
d. Wali,
wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Dalam hadits disebutkan:
إِلاَّ بِوَلِيٍّ لاَ نِكَاحَ “
“Ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR.
Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
Seorang
wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka
hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ “
“Sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang
tidak memiliki wali.”
(HR. Abu Dawud)
Karena
keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi beberapa syarat. Dalam
pasal 20 KHI ayat (1) dirumuskan sebagai berikut: “yang bertindak sebagai wali
nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim,
aqil dan baligh”.
Wali nikah ada dua macam yaitu:
1. Wali
Nasab
Adalah
wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Baik orang
tua kandung, dan bisa juga wali aqrob dan ab’ad.
2. Wali
Hakim
Adalah
wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai perempuan menolak
(‘adhal) atau tidak ada, atau karena sebab lain.
e. Dua
orang saksi Saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu
pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ (رواه الطبراني،
وهو في صحيح الجامع 7558)
Tidak
ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah
kecuali An-Nasa`i)
2.3. Syarat Nikah
a.Syarat calon pengantin pria sebagai berikut :
1. Beragama
Islam
2. Terang
prianya (bukan banci)
3. Tidak
dipaksa
4. Tidak
beristri empat orang
5. Bukan
Mahram bakal istri
6. Tidak
mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan bakal isteri
7. Mengetahui
bakal istri tidak haram dinikahinya
8. Tidak
sedang dalam ihram atau umrah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ
وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ “
“Yang
sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh
mengkhitbah.” (HR. Muslim)
b. Syarat calon
pengantin wanita sebagai berikut :
1. Beragama
Islam
2. Terang
wanitanya (bukan banci)
3. Telah
memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ
تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia
diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai
dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458) Terkecuali
bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya
tanpa seizinnya.
Nabi صلى الله
عليه وسلم juga bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Wanita
manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal,
nikahnya batal. Jika ia telah digauli maka ia berhak mendapatkan mahar, karena
lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara
mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak memiliki
wali.” (HR. Abu Daud no. 1783, Tirmdizi no. 1021 dan Ibnu Majah no. 1869
Maktabah Syamilah)
4. Tidak
bersuami dan tidak dalam iddah
5. Bukan
mahram bakal suami
6. Belum
pernah dili'an ( sumpah li'an) oleh bakal suami.
7. Terang
orangnya
8. Tidak
sedang dalam ihram haji atau umrah
c. Syarat wali sebagai berikut :
1. Beragama
Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Tidak
dipaksa
5. Terang
lelakinya
6. Adil
( bukan fasik )
7. Tidak
sedang ihram haji atau umrah
8. Tidak
dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah)
9. Tidak
rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.
d. Syarat saksi
1.
Beragama Islam
2.
Laki-laki
3.
Baligh
4.
Berakal
5.
Adil
6.
Mendengar {tidak tuli}
7.
Melihat (tidak buta)
8.
Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)
9.
Tidak pelupa ( mughhaffal)
10. Menjaga
harga diri ( menjaga muru'ah)
11. Mengerti
maksud ijab dan qobul
12. Tidak
merangkap menjadi wali
e. Ijab
dan Qabul Ijab dan qabul harus berbentuk dari asal kata "inkah" atau
"tazwij" atau terjemahan dari kedua asal kata tersebut yang dalam
bahasa Indonesia berarti "Menikahkan".
Contoh
:
1.
Ijab dari wali calon mempelai perempuan
: Hai Wulan bin, saya nikahkan fulanah, anak saya dengan engkau, dengan ;mas
kawin (mahar).
2.
kabul dari calon mempelai pria ; saya
terima nikahnya fatimah binti........ dengan maskawin (mahar)............
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, yang telah kami bahas.
Maka kami mengambil kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1. Akad
nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat
menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau
tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung
arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.
Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya,
pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan
rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan
merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah
sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan
tersebut.
2. Adanya
ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan
Fulanah”).
3.2.
Saran
Sebagai penutup dari makalah ini, tak luput pula
kami ucapkan ribuan terima kasih pada semua rekan-rekan yang telah banyak
membantu dalam pembuatan makalah ini. Di
samping itu, masih banyak kekurangan serta jauh dari kata kesempurnaan, tetapi
kami semua telah berusaha semaksimal munkin dalam pembutan makalah yang
amat sederhana ini. Maka, dari pada itu . kami semua sangat berharap kepada
semua rekan-rekan untuk memberi kritik atau sarannya, sehingga dalam pembuatan
makalah selanjutnya bisa menjadi yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Dewantoro
Sulaiman, SE, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan, Solo, 2002
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
Al-Hamdani,
Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
http://www.kosmaext2010.com/makalah-fiqih-makalah-munakahat-perkawinan.php
No comments:
Post a Comment